Beranda | Artikel
Shalat Sunah Rawâtib Zhuhur
Minggu, 4 Oktober 2020

SHALAT SUNNAH RAWATIB ZHUHUR

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc

Sebagaimana telah dijelaskan pada edisi terdahulu, berikut kami lanjutkan pembahasan mengenai shalat sunnah rawâtib Zhuhur. Mudah-mudahan bermanfaat dan memacu semangat kita untuk mengamalkannya.

Hukum Shalat Sunnah Rawatib Zhuhur
Shalat sunnah rawâtib Zhuhur termasuk shalat sunnah muakkad (sangat ditekankan) yang dilakukan dan dianjurkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Yang mendasarinya, yaitu keumuman hadits-hadits yang menjelaskan shalat sunnah rawâtib, seperti hadits Ummu Habîbah dan Ibnu ‘Umar.[1]

Jumlah Rakaat Sunnah Rawatib Zhuhur
Beberapa riwayat yang menjelaskan jumlah rakaat shalat sunnah rawâtib Zhuhur, ialah sebagai berikut.

  1. Dua rakaat sebelum Zhuhur dan dua rakaat sesudahnya, sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Umar yang berbunyi:

حَفِظْتُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ رَكَعَاتٍ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ فِي بَيْتِهِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ فِي بَيْتِهِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الصُّبْحِ وَكَانَتْ سَاعَةً لَا يُدْخَلُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهَا حَدَّثَتْنِي حَفْصَةُ أَنَّهُ كَانَ إِذَا أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ وَطَلَعَ الْفَجْرُ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ

Aku hafal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sepuluh rakaat: dua rakaat sebelum Zhuhur, dua rakaat sesudahnya, dua rakaat setelah Maghrib, dua rakaat  setelah ‘Isya dan dua rakaat sebelum shalat Subuh. Dan ada waktu tidak dapat menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Hafshah Radhiyallahu anhuma menceritakan kepadaku bahwa bila muadzin beradzan dan terbit fajar beliau shalat dua rakaat.[2]

  1. Empat rakaat sebelumnya dan dua rakaat sesudahnya, sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لَا يَدَعُ أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ 

Sungguh, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dahulu tidak pernah meninggalkan empat rakaat sebelum Zhuhur.[3]

Hadits ‘Abdullah bin Syaqîq Radhiyallahu anhu ketika bertanya kepada ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma tentang shalat sunnah yang dikerjakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau Radhiyallahu anhuma menjawab:

كَانَ يُصَلِّي فِي بَيْتِي قَبْلَ الظُّهْرِ أَرْبَعًا ثُمَّ يَخْرُجُ فَيُصَلِّي بِالنَّاسِ ثُمَّ يَدْخُلُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu, shalat di rumahnya sebelum Zhuhur empat rakaat, kemudian keluar dan shalat mengimami manusia. Kemudian masuk (rumah lagi) dan shalat dua rakaat.[4]

  1. Empat rakaat sebelumnya dan empat rakaat setelahnya, sebagaimana terdapat dalam hadits Ummu Habîbah yang berbunyi:

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ حَافَظَ عَلَى أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَأَرْبَعٍ بَعْدَهَا حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ

Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang menjaga empat rakaat sebelum Zhuhur dan empat rakaat setelahnya, maka Allah mengharamkannya dari neraka”.[5]

Dengan demikian, siapa saja yang menunaikan seluruhnya, maka ia telah melaksanakan sunnah. Namun yang muakkad (yang ditekankan), ialah empat rakaat sebelum Zhuhur dan dua rakaat setelahnya, sebagaimana telah dirajihkan oleh Ibnul-Qayyim rahimahullah dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.[6]

Keutamaan Sunnah Rawatib Zhuhur
Shalat rawâtib Zhuhur termasuk yang tidak pernah ditinggalkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kecuali ketika dalam keadaan bersafar. Shalat ini memiliki keutamaan seperti keumuman shalat rawâtib lainnya. Namun ada beberapa hadits yang menjelaskan keutamaannya, khususnya seperti hadits Ummu Habîbah yang berbunyi:

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  يَقُولُ مَنْ حَافَظَ عَلَى أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَأَرْبَعٍ بَعْدَهَا حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ

Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang menjaga empat rakaat sebelum Zhuhur dan empat rakaat setelahnya, maka Allah mengharamkannya dari neraka”.  

Dan hadits yang berbunyi:

أَرْبَعُ رَكَعَاتٍ قَبْل الظُّهْرِ يَعْدَلْنَ بِصَلاَةِ السَّجَرِ

Empat rakaat sebelum Zhuhur menyamai shalat as-Sahar (menjelang terbit fajar).[7]

Tata Cara Sunnah Rawatib Zhuhur
Empat rakaat sunnah rawâtib Zhuhur dapat dilakukan dengan dua cara.

  1. Dilakukan dengan dua kali salam, sebagaimana dijelaskan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:

صَلَاةُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ مَثْنَى مَثْنَى

Shalat malam dan siang adalah dua rakaat dua rakaat.[8]

  1. Dilakukan dengan satu salam dan dua tasyahud, dengan dasar hadits yang berbunyi:

عَنْ أَبِي أَيُّوبَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَرْبَعٌ قَبْلَ الظُّهْرِ لَيْسَ فِيهِنَّ تَسْلِيمٌ تُفْتَحُ لَهُنَّ أَبْوَابُ السَّمَاءِ

Dari Abu Ayyub dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda: “Empat rakaat sebelum Zhuhur, tidak ada padanya salam, maka dibukakan karenanya pintu-pintu langit”.[9]

Imam Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkata: “Kebanyakan ulama dari kalangan sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan setelah mereka mengamalkan hadits ini. Mereka merajihkan seorang shalat sebelum Zhuhur empat rakaat. Inilah pendapat Sufyân ats-Tsauri, Ibnul-Mubârak, Ishâq dan ahli Kufah. Sebagian ulama mengatakan, shalat malam dan siang dua rakaat dua rakaat. Mereka memandang pemisahan antara setiap dua rakaat. Demikian inilah pendapat asy-Syafi’i dan Ahmad.[10]

Seseorang Tidak Sempat Melakukan Shalat Sunnah Empat Rakaat Sebelum Dzhuhur
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin memberikan satu kaidah tentang mengqadha shalat sunnah ini dengan pernyataan sebagai berikut:

Seseorang yang tidak sempat melakukan shalat-shalat rawâtib ini pada waktunya, maka disunnahkan mengqadhanya, dengan syarat karena udzur. Dasarnya, yaitu hadits Abu Hurâirah dan Abu Qatadah dalam kisah tidurnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat dalam suatu perjalanan sehingga terlambat shalat Subuh, lalu beliau melakukan shalat rawatib Subuh dahulu, baru kemudian shalat Subuh.

Demikian juga hadits Ummu Salamah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersibukkan dari dua rakaat setelah Zhuhur dan mengqadhanya setelah shalat ‘Ashr. Ini adalah nash dalam qadha shalat sunnah rawâtib. Begitu juga keumuman sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang berbunyi):

مَنْ نَامَ عَنْ صَلَاةٍ أَوْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا  ذَكَرَهَا

Barang siapa yang ketiduran dari shalat atau lupa, maka hendaklah ia shalat ketika ingat.

(Pengertian) ini mencakup shalat fardhu dan nafilah (sunnah), dan ini bila ditinggalkan karena udzur seperti lupa, ketiduran dan sibuk dengan yang lebih penting. Adapun bila ditinggalkannya dengan sengaja sehingga kehilangan waktunya, maka ia tidak mengqadhanya. Kalaupun ia mengqadhanya, maka tidak sah sebagai rawâtib darinya. Karena shalat rawâtib merupakan ibadah dengan waktu tertentu. Ibadah yang memiliki ketentuan waktu, bila seseorang sengaja melakukan keluar dari waktunya, maka (ibadah itu) tidak diterima. Dasarnya, ialah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barang siapa yang mengamalkan satu amalan yang tidak ada padanya perintah kami, maka ia tertolak. [HR Muslim].

Demikianlah ibadah yang memiliki ketentuan waktu; (sehingga) bila engkau keluarkan darinya dengan sengaja, maka engkau telah melakukan amalan yang tidak ada perintah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk engkau kerjakan pada waktu tersebut, sehingga tidak diterima (selainnya). Juga sebagaimana tidak sah shalat sebelum waktunya, maka tidak sah pula shalat setelah keluar waktunya, karena hakikinya tidak ada perbedaan antara engkau kerjakan sebelum masuk waktunya, maupuan setelah keluar waktunya apabila tanpa udzur.[11]

Dengan dasar ini, apabila seseorang tidak dapat melakukan shalat sunnah rawatib sebelum Zhuhur karena udzur, maka ia boleh mengqadhanya. Yaitu dilakukan setelah shalat Zhuhur, sebagaimana dijelaskan dalam hadits ‘Aisyah yang berbunyi:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا لَمْ يُصَلِّ أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ صَلَّاهُنَّ بَعْدَهُ

Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu, bila tidak shalat empat rakaat sebelum Zhuhur, maka beliau lakukan setelahnya.[12]

Seseorang Tidak Sempat Melakukan Shalat Sunnah Dua Rakaat Setelah
Demikian pula jika seseorang tidak dapat melakukan shalat sunnah rawatib sebelum Zhuhur karena udzur, maka ia boleh mengqadhanya setelah hilang udzurnya, walaupun setelah shalat ‘Ashar. Hal ini didasarkan pada hadits yang berbunyi:

عَنْ كُرَيْبٍ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ أَزْهَرَ وَالْمِسْوَرَ بْنَ مَخْرَمَةَ أَرْسَلُوهُ إِلَى عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا اقْرَأْ عَلَيْهَا السَّلَامَ مِنَّا جَمِيعًا وَسَلْهَا عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ وَقُلْ إِنَّا أُخْبِرْنَا أَنَّكِ تُصَلِّينَهُمَا وَقَدْ بَلَغَنَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْهُمَا قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَكُنْتُ أَضْرِبُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ النَّاسَ عَلَيْهَا قَالَ كُرَيْبٌ فَدَخَلْتُ عَلَيْهَا وَبَلَّغْتُهَا مَا أَرْسَلُونِي بِهِ فَقَالَتْ سَلْ أُمَّ سَلَمَةَ فَخَرَجْتُ إِلَيْهِمْ فَأَخْبَرْتُهُمْ بِقَوْلِهَا فَرَدُّونِي إِلَى أُمِّ سَلَمَةَ بِمِثْلِ مَا أَرْسَلُونِي بِهِ إِلَى عَائِشَةَ فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَى عَنْهُمَا ثُمَّ رَأَيْتُهُ يُصَلِّيهِمَا أَمَّا حِينَ صَلَّاهُمَا فَإِنَّهُ صَلَّى الْعَصْرَ ثُمَّ دَخَلَ وَعِنْدِي نِسْوَةٌ مِنْ بَنِي حَرَامٍ مِنْ الْأَنْصَارِ فَصَلَّاهُمَا فَأَرْسَلْتُ إِلَيْهِ الْجَارِيَةَ فَقُلْتُ قُومِي بِجَنْبِهِ فَقُولِي لَهُ تَقُولُ أُمُّ سَلَمَةَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَسْمَعُكَ تَنْهَى عَنْ هَاتَيْنِ الرَّكْعَتَيْنِ وَأَرَاكَ تُصَلِّيهِمَا فَإِنْ أَشَارَ بِيَدِهِ فَاسْتَأْخِرِي عَنْهُ قَالَ فَفَعَلَتْ الْجَارِيَةُ فَأَشَارَ بِيَدِهِ فَاسْتَأْخَرَتْ عَنْهُ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ يَا بِنْتَ أَبِي أُمَيَّةَ سَأَلْتِ عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ إِنَّهُ أَتَانِي نَاسٌ مِنْ عَبْدِ الْقَيْسِ بِالْإِسْلَامِ مِنْ قَوْمِهِمْ فَشَغَلُونِي عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ فَهُمَا هَاتَانِ

Dari Kuraib Maula Ibnu ‘Abbas, bahwasanya ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdur-Rahman bin Azhar dan al-Miswar bin Makhramah mengutusnya menemui ‘Aisyah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mereka berkata: “Sampaikan kepada beliau salam dari kami semua dan tanyakan tentang dua rakaat setelah shalat ‘Ashar. Juga katakan, bahwa kami menerima berita bahwa engkau melakukan shalat dua rakaat (setelah ‘Ashar) tersebut, padahal telah sampai kapada kami bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarangnya”.

Ibnu ‘Abbas berkata: “Aku, dahulu bersama ‘Umar bin al-Khaththab memukul orang yang melakukannya”.

Kuraib berkata: “Lalu aku menemui beliau (‘Aisyah) dan menyampaikan semua pesan mereka,” lalu beliau berkata: ‘Tanyakanlah kepada Ummu Salamah,’ lantas aku berangkat kepada mereka dan memberitahukan mereka tentang jawaban beliau. Kemudian mereka menyuruhku pergi ke Ummu Salamah dengan pesan-pesan yang dibawa kepada ‘Aisyah”.

Kemudian Ummu Salamah menjawab: “Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari keduanya, kemudian aku melihat beliau mengerjakannya. Adapun waktu beliau melakukannya, yaitu setelah shalat ‘Ashar kemudian masuk, dan bersamaku ada beberapa orang wanita kalangan Anshar dari Bani Harâm, lalu beliau melakukan shalat dua rakaat tersebut. Maka aku menyuruh seorang anak perempuan menemui beliau (dan) aku katakan, ‘Berdirilah engkau disamping beliau dan katakan kepadanya bahwa Ummu Salamah bertanya: ‘Wahai Rasulullah! Aku telah mendengar engkau melarang dari dua rakaat tersebut dan melihatmu melakukannya’. Apabila beliau memberi isyarat dengan tangannya, maka mundurlah (engkau) darinya”.

Kuraib berkata: “Anak perempuan itupun melakukannya, dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi isyarat dengan tangannya, maka iapun mundur dari beliau”.

Ketika Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai, maka berkata: “Wahai, bintu Abi Umayyah! Engkau telah bertanya tentang dua rakaat setelah shalat ‘Ashr?! Sesungguhnya telah menemuiku beberapa orang dari ‘Abdul-Qais masuk Islam dari kaum mereka, sehingga menyibukkanku dari melakukan dua rakaat (shalat rawatib) setelah Zhuhur. Maka, inilah dua rakaat itu”.[13]

Demikianlah beberapa permasalahan seputar shalat sunnah rawatib Zhuhur yang dapat kami jelaskan. Semoga bermanfaat dan dapat kita amalkan.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XI/1428/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
______
Footnote
[1] Lihat pembahasan Majalah As-Sunnah, Edisi 05/Tahun XI/1428H/2007M, Rubrik Fiqh, halaman 49-52.
[2] HR al- Bukhâri kitab Tahajjud, Bab: ar-Rakatain Qabla Zhuhur no.1180, dan Muslim kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab: Fadhlus-Sunan ar-Râtibah, 729.
[3] HR al-Bukhâri dalam kitab al-Jum’at, Bab: ar-Rak’atain Qablal-Zhuhri, no. 1110.
[4] HR Muslim, kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab: Jawâz an-Nâfilah Qâiman wa Qa’idan, no. 730.
[5] HR at-Tirmidzi, kitab ash-Shalat, no. 428; Ibnu Majah, kitab ash-Shalat, no. 428; Abu Dawud kitab ash-Shalat, Bab: al-Arba’ Qablal-Zhuhri wa Ba’daha, no. 1269; dan Ibnu Majah kitab ash-Shalat was-Sunnah fîha, Bab: Mâ Jâ`a fîman Shalla Qablal-Zhuhri Arba’an wa Ba’daha Arba’an, no. 1160. Dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan Ibnu Majah, 1/191.
[6] Lihat pembahasan Majalah As-Sunnah, Edisi 05/Tahun XI/1428H/2007M, Rubrik Fiqh, halaman 49-52.
[7] HR Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya (2/15/2), dan dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Silsilah Ahadits ash-Shahîhah no. 1431. Lihat Silsilah (3/416).
[8] HR an-Nasâ`i dalam kitab Qiyâmul-Lail wa Tathawu’ an-Nahâr, Bab: Kaifa Shalatul-Lail (3/227), Ibnu Majah dalam kitab Iqâmatush-Shalat was-Sunnah fîha, Bab: Mâ Jâ fî Shalatul-Lail wan-Nahâr Matsna Matsna, no. 1322. Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Ibnu Majah (1/221).
[9] HR Abu Dawud 1269, dan Dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Shahîhut-Targhib wat-Tarhîb no. 585 dan Shahîh Abu Dawud.
[10] Sunan at-Tirmidzi (2/289-290).
[11] Syarhul-Mumti’ (4/101-103).
[12] HR at-Tirmidzi dalam kitab ash-Shalat, Bab: Minhu Aakhar, no. 426, dan Ibnu Majah dalam kitab Iqâmatush-Shalat was-Sunnah fîha, Bab: Man Fâtathu al-Arba’ Qablal-Zhuhur, no. 1158; dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi (1/134). Lihat pula Tamamul-Minnah, 241.
[13] HR al- Bukhâri, kitab as-Sahwu, Bab: Idza Kallama wahuwa Yushalli fa ‘Asyara biyadihi wastama`, no. 1233, dan Muslim, kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab: Ma’rifatur-Rak’atain allataini Kâna Yushalîhumâ an-Nabi n Ba’dal-‘Ashr, no. 834.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/23499-shalat-sunah-rawatib-zhuhur-2.html